Selasa, 24 Desember 2013

ILMU MAWARIS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada aspek ibadah Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah sholat, zakat, puasa atau ibadah haji saja,tetapi juga yang menyangkut aspek-aspek lain,termasuk tata cara pembagian harta pusaka atau warisan,yang dalam ilmu fiqih disebut FARAID.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras, yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Dalam hukum islam rukun waris ada tiga
  1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
  2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
  3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
            Dalam penulisan ini diperlukan adanya penegasan mengenai masalah-masalah atau hal-hal yang disajikan sehingga masalah tersebut menjadi jelas dan terarah.
Masalah yang akan dibahas dalam hal ini, yaitu:
1.2.1 Apakah mawaris itu?
1.2.2 Apa penyebab dan penghalang mawaris?
1.2.3 Apa saja permasalahan ahli waris?

1.3 Tujuan Penulisan
            Setiap penulisan makalah tentu ada tujuannya, begitu pula dengan penulisan makalah ini yang mempunyai tujuan:
1.3.1 Untuk mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan mawaris
1.3.2 Untuk mengetahui sebab-sebab dan penghalang terjadinya waris mewarisi
1.3.3 Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan dalam mawaris


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Ilmu Mawaris
2.1.1        Pengertian dan Hukum Mawaris
Menurut bahasa kata mawaris adalah bentuk jama’ dari kata ”mirats” yang menggunakan makna ”mauruts” artinya ”harta warisan” yang ditinggalkan oleh mayit. Sedangkan pengertian mawaris menurut istilah syara’ yaitu ilmu yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid yang berarti ketentuan atau bagian yang telah ditentukan. Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan (harta warisan). Disebut ilmu faraid karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris.
Hal-hal yang terkait dengan pembagian warisan adalah sebagai berikut
a.       Hak-hak yang terkait dengan pembagian warisan
b.      Sebab-sebab waris mewarisi
c.       Halangan waris mewarisi
d.      Orang-orang yang berhak menerima warisan
e.       Penghalang
f.       Ketentuan masing-masing dari ahli waris
g.      Kaidah penghitungan
h.      Cara mempraktikkan pembagian harta warisan.
                  Hukum mempelajari ilmu waris adalah fardlu kifayah, yakni apabila dalam satu daerah atau kelompok ada salah seorang yang telah mempelajari ilmu ini, maka yang lain sudah gugur kewajibannya lagi. Hal ini dimaksudkan apabila dalam suatu daerah atau kelompok muncul permasalahan tentang warisan, orang tersebut dapat memecahkan masalah tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah syariat islam.

2.1.2        Tujuan Ilmu Mawaris
Tujuan ilmu mawaris adalah agar kaum muslimin dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat islam bidang pembagian harta warisan, dapat memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulnya dan dapat terhindar dari pembagian yang salah (menurut kepentingan pribadi). Bagi umat islam, segala persoalan hidup manusia baik yang terkait dengan Allah dan yang terkait dengan manusia lainnya adalah diatur di dalam syariat islam, Sebagaimana firman Allah SWT:
”Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar (melampaui) ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”. (Qs. An-Nisa’:14)
2.1.3        Kedudukan Ilmu Mawaris
Ilmu mawaris atau ilmu faraid dalam agama islam mempunyai kedudukan yang sangat penting karena dengan membagi harta warisan secara benar maka salah satu urusan hak Adami manusia bisa terselesaikan secara baik. Sebagaimana dijelaskan bahwa manusia itu akan dihadapkan pada hak dan kewajiban, yaitu dengan Allah dan dengan manusia. Hal itulah yang menyebabkan ilmu mawaris atau faraid mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga Al-Qur’an menjelaskan hal mawaris ini secara terperinci. Bahkan hampir semua masalah pembagian harta warisan diatur secara jelas dan terperinci dalam ayat-ayat al-Qur’an.
2.1.4        Dasar Hukum dan Ayat-Ayat tentang Mawaris
Ilmu mawaris termasuk ilmu syariah, yakni ilmu yang terkait dengan masalah ibadah dan muamalah yang segala hukum dan tata caranya didasarkan pada syara’ (agama). Sumber utama ilmu mawaris adalah al-Qur’an. Bahkan dalam al-Qur’an persoalan mawaris dijelaskan secara rinci dalam Surah an-Nisa ayat 7-12 dan ayat 176, dan sebagian diterangkan dalam surah lain.
Melihat banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara terperinci menerangkan tentang pembagian harta warisan, maka dapat dipahami bahwa masalah faraid (ilmu mawaris) adalah sangat penting. Hal tersebut juga bisa dilihat dari salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang meletakkan ilmu faraid sebagai salah satu dari tiga pilar agama.
2.1.5        Hikmah Mawaris
Hikmah khusus dari pembagian warisan adalah sebagai berikut
1.      Upaya meneruskan (mengganti) kedudukan mayat dalam martabat dan kemuliaan, karena setiap orang pasti berusaha agar mendapatkan keturunan yang bisa menempati kedudukan dan martabatnya apabila ia sudah meninggal.
2.      Terciptanya rasa pengabdian, kasih sayang, dan persaudaraan di antara kerabat keluarga.
3.      Mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul yang terkait dengan harta warisan karena di dalam pengamalan tersebut terkandung nilai-nilai keadilan, kedamaian dan kebersamaan di dalam keluarga sesuai dengan kodrat dan tanggung jawabnya. Sebagaimana perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, adanya hijab (penghalang), adanya asabah (sisa), dan lain-lain.

2.2  Sebab-Sebab dan Halangan Waris Mewarisi
2.2.1        Sebab-Sebab Waris Mewarisi
Seseorang tidak akan mempunyai hak waris mewarisi kecuali adanya salah satu dari empat sebab di bawah ini.
a.   Sebab Nasab (Hubungan Kerabat)
      Seseorang akan memperoleh warisan sebab adanya hubungan kerabat keluarga. Misalnya, seorang anak akan memperoleh harta warisan dari bapak, dan sebaliknya. Seseorang akan memperoleh harta warisan dari saudaranya, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan” (Qs. an-Nisa’:7)
b.   Sebab Pernikahan yang Sah
Sebab pernikahan yang sah yakni hubungan suami istri yang diikad oleh adanya akad nikah. Maka apabila dari seorang suami istri meninggal dunia maka yang lain bisa mengambil harta warisan dari yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Untuk kamu (suami) separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu” (Qs. an-Nisa’:12)     
c.   Sebab Wala’ (Memerdekakan Budak)
Seseorang yang memerdekakan budak apabila budak tersebut meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris maka orang yang memerdekakan tersebut berhak menerima harta peninggalan budak tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“Wala’ itu sebagai keluarga seperti keluarga karena nasab” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
  1. Sebab Kesamaan Agama
Apabila ada orang islam meninggal dunia sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris (baik yang sebab nasab, nikah, maupun wala’) maka harta warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat islam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
2.2.2    Halangan Waris Mewarisi dan Dasar Hukumnya
Halangan waris mewarisi adalah seorang ahli waris yang semestinya mendapatkan harta warisan tetapi terhalang karena adanya sebab-sebab tertentu. Orang tersebut disebut juga “Mamnu ‘ul Irtsy” (orang yang terhalang) atau disebut “Mahjub bil Washfi” (terhalang karena adanya sifat tertentu).
Sifat yang menjadikan penghalang adalah sebagai berikut:
a.   Pembunuh
      Orang yang membunuh kerabat keluarganya tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Sabda Nabi Muhammad SAW:
”Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun seseorang yang membunuh” (HR. an-Nasa’i)
b.   Budak
      Seorang yang menjadi budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari tuannya. Tuannya juga tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari budaknya karena ia orang yang tidak memiliki hak milik sama sekali. Sebagaimana firman Allah SWT:
”Allah telah membuat perumpamaan seorang hamba yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu” (Qs. an-Nahl:75)
c.   Perbedaan Agama
      Seorang islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang kafir meskipun masih kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
”Orang islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang islam” (HR. Bukhari Muslim)
2.2.3    Ahli Waris yang Tidak Bisa Gugur Haknya
Sebagaimana keterangan diatas bahwa hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan terkadang bisa terhalangi oleh adanya suatu sebab tertentu atau oleh adanya ahli waris lain. Akan tetapi, ada beberapa ahli waris yang tidak bisa terhalangi haknya meskipun semua ahli waris itu ada. Mereka adalah anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami, istri.

2.3       Permasalahan Ahli Waris
            Semua ahli waris, baik yang mendapatkan bagian tertentu (dzawil furudl) maupun yang asabah (mendapatkan sisa), baik yang bisa terhalangi (mahjub) maupun yang tidak bisa terhalangi secara global dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.3.1    Ahli Waris
a.   Ahli Waris Laki-Laki ada 15, mereka adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki (terus ke bawah), bapak, kakek (bapak dari bapak atau terus ke atas), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman atau saudara laki-laki sekandung dari bapak, paman atau saudara laki-laki sebapak dari bapak, anak laki-laki dari paman sekandung dari bapak, anak laki-laki dari paman sebapak saja dari bapak, suami serta tuan laki-laki yang memerdekakan budak.
b.   Ahli Waris Perempuan ada 10, mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki ke bawah, ibu, nenek (ibu dari bapak terus ke atas), nenek (ibu dari ibu terus ke atas), saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak saja, saudara perempuan seibu saja, istri, tuan perempuan yang memerdekakan budak.
2.3.2        Dzawil Furudl dan Asabah
a.   Dzawil furudl adalah orang-orang dari ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sebagaimana disebut di atas, yang juga disebut ”’Ashabul Furudl”.
Dzawil furudl dan pendapatannya adalah sebagai berikut.
1.   Yang mendapat ½ ada lima orang, mereka adalah sebagai berikut.
a.   Suami, apabila tidak ada anak laki-laki atau perempuan & cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b.   Anak perempuan, apabila ia hanya seorang diri dan tidak ada anak laki-laki.
c.   Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila hanya seorang diri dan tidak ada anak perempuan & cucu laki-laki dari anak laki-laki.
d.   Saudara perempuan sekandung, apabila hanya seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan, cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek (bapak dari bapak) & saudara laki-laki sekandung.
e.   Saudara perempuan sebapak, apabila hanya seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek (bapak dari bapak), saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki sebapak.     
2.      Yang mendapat 1/6 ada 7 orang, mereka adalah sebagai berikut.
a.   Bapak, apabila ada salah satu dari anak laki-laki atau perempuan &cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b.   Kakek (bapak dari bapak) ketika bersama anak laki-laki atau perempuan, dengan syarat tidak ada bapak & saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau seayah.
c.   Ibu, apabila ada salah satu dari anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki & saudara laki-laki atau perempuan yang lebih dari satu, baik sekandung,    sebapak saja maupun seibu aja.
d.   Cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang atau lebih, apabila bersama dengan anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
e.   Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih ketika bersama seorang saudara perempuan sekandung dan tidak ada saudara laki-laki sebapak.
f.    Nenek, baik seorang atau lebih, baik nenek dari ibu apabila ibu tidak ada atau nenek dari bapak apabila bapak tidak ada.
g.   Saudara laki-laki atau perempuan seibu, ketika seorang diri dan apabila tidak ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki, bapak & kakek (bapak dari bapak).
b.   Asabah
      Menurut bahasa asabah adalah bentuk jama’ dari “ashib” yang artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat atau nasab. Menurut syara’ asabah adalah orang-orang yang tidak mendapatkan bagian tertentu (bukan dzawil furudl). Oleh sebab itu, orang yang termasuk asabah, mungkin akan mendapatkan semua sisa ketika ia sendirian tidak bersama dzawil furudl dan akan mendapatkan sebagian sisa ketika ia bersama dzawil furudl, atau tidak mendapatkan sisa sama sekali karena sudah habis diambil oleh dzawil furudl. Namun adakalanya asabah diterima oleh orang yang semula dzawil furudl, karena ada ahli waris lain, berubah menjadi dzawil asabah.
Adapun macamnya asabah itu ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1)      Orang yang menerima sisa harta warisan dengan sendirinya. Kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan yang meninggal dunia (si mayat) tanpa diselingi oleh orang perempuan, mereka adalah bapak, kakek ke atas, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki ke bawah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman (saudara laki-laki sekandung dari bapak), paman (saudara laki-laki sebapak dari bapak), anak laki-laki dari paman sekandung dari bapak, anak laki-laki dari paman sebapak saja dari bapak, tuan laki-laki yang memerdekakan budak, tuan perempuan yang memerdekakan  budak, anak laki-laki dari tuan laki-laki yang memerdakakan budak.
2)      Asabah bil ghair
Asabah bilghair yaitu orang-orang yang mendapatkan sisa bagian harta warisan karena bersama ahli waris laki-laki yang setingkat. Mereka itu adalah anak perempuan apabila bersama anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki apabila bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, apabila bersama saudara laki-laki sekandung & saudara perempuan seayah, apabila bersama saudara laki-laki seayah.
3)      Asabah ma’al Ghair
Asabah ma’al ghair adalah ahli waris perempuan yang mendapatkan sisa bagian harta warisan ketika bersama dengan ahli waris perempuan lain (dalam garis lain). Mereka itu adalah saudara perempuan sekandung apabila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki & saudara perempuan seayah apabila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
2.3.3        Hubungan antara Ahli Waris yang Dzawil Furudl dan yang Asabah
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa sebagian ahli waris yang termasuk dalam dzawil furudl juga terdapat dalam ahli waris yang menerima asabah. Keterkaitan antara ahli waris yang dzawil furudl dan yang asabah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Ahli waris yang hanya menjadi dzawil furudl saja, yaitu suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan, nenek dari bapak, dan nenek dari ibu.
  2. Ahli waris yang hanya menjadi asabah saja, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, cucu laki-laki dari anak laki-laki sekandung, cucu laki-laki dari anak laki-laki sebapak, saudara laki-laki sekandung sebapak, saudara laki-laki sebapak yang sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung bapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak bapak.
  3. Ahli waris ada yang terkadang menjadi dzawil furudl dan terkadang menjadi asabah. Mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak.
  4. Ahli waris yang terkadang menjadi dzawil furudl dan terkadang menjadi asabah dan juga terkadang menjadi dzawil furudl sekaligus menjadi asabah. Mereka adalah bapak, kakek (bapak dari bapak).
2.3.4        Hijab
Menurut bahasa hijab berarti cegahan atau halangan. Menurut syara’ hijab adalah halangan bagi seorang ahli waris untuk mendapatkan harta warisan, baik terhalang semuanya atau sebagian harta, baik karena adanya ahli waris lain atau karena sebab-sebab tertentu. Ahli waris yang kehilangan haknya tersebut disebut ”mahjub”, dan yang menghalangi disebut ”hajib”.
Terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan hak harta warisan itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Terhalang karena adanya sifat atau sebab tertentu. Sebab itu adalah pembunuh, budak, dan perbedaan agama.
2.      Terhalang karena adanya ahli waris lain.
3.      Terhalang tidak mendapatkan harta warisan karena kehabisan harta warisan tersebut oleh sejumlah ahli waris lain.
4.      Terhalang dengan berkurangnya bagian semestinya. Seorang ahli waris bagiannya akan terkurangi karena adanya ahli waris lain.
2.3.5        Ahli Waris dan Bagian-Bagiannya
1.      Anak laki-laki menjadi ashabah binafsih.
2.      Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) sebagai asabah ketika tidak ada anak laki-laki. Mahjub ketika ada anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki yang lebih dekat.
3.      Bapak dapat menerima 1/6 ketika ada anak, asabah ketika tidak ada anak atau 1/6 dan asabah ketika bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
4.      Kakek (bapak dari bapak) dapat menerima 1/6 ketika ada anak, asabah ketika tidak ada anak atau bapak, 1/6 dan asabah ketika bersama anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau mahjub ketika ada bapak.
5.      Saudara laki-laki sekandung sebagai asabah ketika tidak ada orang yang menghalang-halangi yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau bapak.
6.      Saudara laki-laki sebapak dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halangi, yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung ketika bersama anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
7.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halangi, yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, bapak dan kakek atau saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak.
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halangi, yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, bapak dan kakek, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak atau anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
9.      Paman sekandung (saudara laki-laki bapak sekandung) dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halanginya, yaitu semua yang menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak atau anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak itu sendiri
10.  Paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak) dapat menerima asabah apabila tidak ada yang menghalang-halangi yaitu semua yang menghalang-halangi paman sebapak dan paman sekandung sendiri.
11.  Anak laki-laki paman sekandung dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halangi yaitu semua yang menghalang-halangi paman sebapak dan paman sebapak itu sendiri.
12.  Anak laki-laki paman sebapak dapat menerima asabah ketika tidak ada yang menghalang-halangi, yaitu semua yang menghalang-halangi anak laki-laki paman sekandung dan anak laki-laki paman sekandung sendiri.
13.  Suami dapat menerima ½ ketika tidak ada anak atau anak dari anak laki-laki atau ¼ ketika bersama anak atau anak dari anak laki-laki (anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki).
14.  Saudara laki-laki seibu dapat menerima 1/6 ketika sendirian, 1/3 ketika 2 orang atau lebih dan tidak ada yang menghalang-halangi atau mahjub ketika bersama anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, bapak, dan kakek.
15.  Laki-laki yang memerdekakan budak dapat menerima asabah ketika tidak ada asabah dari yang senasab.
16.  Anak perempuan dapat menerima ½ ketika sendirian dan tidak ada anak laki-laki, 2/3 ketika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau asabah ketika bersama anak laki-laki.
17.  Anak perempuan dari anak laki-laki dapat menerima ½ ketika sendirian dan tidak ada anak dan juga tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki, 2/3 ketika dua orang lebih dan tidak ada anak juga tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki, 1/6 ketika bersama anak perempuan dan tidak ada anak dan juga tidak ada anak laki-laki dari anak laki-laki, asabah ketika bersama dengan anak laki-laki dari anak laki-laki atau mahjub ketika bersama dengan anak laki-laki, dua anak perempuan lebih kecuali kalau anak perempuan dari anak laki-laki tersebut bersama dengan anak laki-laki dari anak laki-laki.
18.  Isteri satu atau lebih dapat menerima ¼ ketika tidak ada anak atau anak dari anak laki-laki atau 1/8 apabila bersama dengan anak atau anak dari anak laki-laki (anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan, dan anak perempuan dari anak laki-laki).
19.  Nenek (ibu dari ibu) dapat menerima 1/6 ketika tidak ada ibu atau mahjub ketika bersama ibu atau bersama dengan nenek dari ibu yang lebih dekat.
20.  Nenek dari bapak (ibu dari bapak) dapat menerima 1/6 ketika tidak ada ibu atau bapak atau mahjub ketika ada ibu atau bapak atau nenek yang lebih dekat.
21.  Ibu dapat menerima 1/3 ketika tidak ada anak atau anak dari anak laki-laki dan  juga tidak ada dua saudara atau lebih, 1/6 apabila bersama anak atau anak dari anak laki-laki atau ketika ada dua saudara atau lebih atau1/3 sisa  ketika bersama bapak dan salah satu suami atau istri.
22.  Saudara perempuan sekandung dapat menerima ½ ketika sendirian dan tidak bersama dengan saudara laki-laki sekandung, 2/3 ketika dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki sekandung, asabah ketika bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki atau mahjub ketika bersama anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki dan bapak.
23.  Saudara perempuan sabapak dapat menerima ½ apabila sendirian dan tidak ada saudara laki-laki sebapak dan juga tidak ada saudara perempuan sekandung, 2/3 ketika dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki sebapak, 1/6 ketika bersama dengan saudara perempuan sebapak yang sendirian atau mahjub ketika bersama anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung ketika bersama anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
24.  Saudara perempuan seibu dapat menerima 1/3 ketika dua orang atau lebih, 1/6 ketika sendirian, mahjub ketika bersama anak laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, bapak dan kakek.


BAB III
PENUTUP
Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pustaka bagi ahli waris menurut hukum islam. Ahli waris ialah sekumpulan orang atau kerabat yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang yang meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan orang yang meninggalkan.
Sedangkan  pengertian hukum kewarisan ialah: Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang diungkapkan oleh Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Republik Indonesia: Bahwa hukum waris ialah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.


DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan, Al-faraa-idl. Persatuan Islam Bangil 1958.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist. Jakarta: Tintamas.
Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas.
K. Lubis, Suhrawardim dan Simanjuntak, Komis. 2008. Hukum Waris Islam. Edisi ke-2.   Jakarta: Sinar Grafika.
Perangin, Effendi. 2003. Hukum Waris. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Ramulyo, M. Idris. 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan        Kitab Undang-umdang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Sajuti Thalib. 1980. Receptio a Contrario (Hubungan Islam dengan Hukum Adat). Jakarta: Academica.
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Van Hoeve.

BIOGRAFI

1.   Nama                           : Meiga Suraidha
      NIM                            : 0610050112
      Alamat                         : Jl. RE. Martadinata Gg. Tawes No.15 Rt 01/ Rw 05 Karangasem Selatan
      TTL                             : Batang, 7 Mei 1992
      Asal Sekolah               : SMA N 1 Batang
      Hobi                            : Menyanyi dan membaca
      Kata – kata mutiara     : Orang yang meminta maaf tidak akan membuat orang itu menjadi tinggi ataupun  rendah dan yang memaafkan maka hatinya sangat mulia
     
2.   Nama                           : Kristalina Kismadewi
      NIM                            : 0610050212
      Alamat                         : Perum Kwayangan Jl. Amarta 1 No. 73 Kedungwuni, Pekalongan.
      TTL                             :  03 Januari 1994
      Asal Sekolah               :  SMAN 1 Kedungwuni
      Hobi                            :  Mendengarkan musik
      Kata – kata mutiara     : Orang yang kuat bukan mereka yang selalu menang namun dia tetap tegar saat menerima kekalahan

      3. Nama                       :  Kurnia Setyo Putri
      NIM                            :  0610050512
      Alamat                         :  Klunjukan RT 02/ RW 07 Kec.Sragi Kab.Pekalongan
      TTL                             :  Pekalongan, 05 januari 1992
      Asal Sekolah               :  SMK Negeri 1 Kedungwuni
      Hobi                            :  Membaca dan mendengarkan musik
      Kata – kata mutiara     : Jadilah orang seperti padi makin berisi makin merunduk, dimana makin berilmu maka semakin rendah hati

4.   Nama                           :  Edi Raharjo
      NIM                            : 0610050611
      Alamat                              : Dk.Gadangan Ds.Ujungnegoro,Kec.Kandeman Kab.Batang
      TTL                             : Batang, 24 Juli 1991
      Asal Sekolah               : SMK Bhakti Praja Batang
      Hobi                            : Gemmers,raffting
      Kata – kata mutiara     : Terus bermimpi sebelum semuanya tercapai
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar