Rabu, 28 Agustus 2013

GESTALT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
            Pengajaran  identik dengan pendidikan. Proses pengajaran adalah proses pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar belajar, di dalamnya terdapat dua obyek yang saling terlibat yaitu guru dan peserta didik.
       Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam melaksanakan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Adanya proses yang panjang dan tertata dengan rapi serta berjenjang akan memungkinkan belajar menjadi lebih baik dan efisien.
       Sudah kita ketahui bahwa dalam proser belajar kita mengacu pada konsep belajar yang dapat membantu kita dalam memahami suatu pembelajaran, seperti teori belajar behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Teori tersebut berkembang berdasarkan cara yang dilakukan dalam pembelajaran, dan dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai teori belajar kognitivisme dari yang dikemukakan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai pendiri Psikologi Gestalt.


1.2  Rumusan Masalah
            1.    Sejarah Teori Gestalt?
            2.    Mengapa Teori Gestalt sebagai teori kognitivisme?
            3.    Mengapa Teori Gestalt sebagai insight?



  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH TEORI GESTALT
Perintis teori Gestalt ialah Von Ehrenfels, dengan karyanya “Uber Gestaltqualitation” (1890). Aliran ini menekankan pentingnya keseluruhan atau sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya dan timbul lebih dulu dari pada bagian-bagiannya. Pengikut aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi aliran-aliran lain. Bagi yang mengikuti aliran Gestalt perkembangan adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder. Bagian-bagian sendiri hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain. Bila kita bertemu dengan seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru atau pulpennya yang bagus, atau dahinya yang terluka, melainkan justru teman kita itu sebagai keseluruhan, baru kemudian menyusul kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu seperti bajunya yang baru, pulpennya yang bagus, dahinya yang terluka, dan sebagainya.
            Teori ini kemudian dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi Gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) lahir di Jerman tahun 1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880 – 1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya tersebut ia menyesalkan tentang penggunaan metode menghafal di sekolah, kemudian ia menghendaki agar siswa belajar dengan menggunakan pengertian bukan hafalan akademis. Sumbangan ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Wolfgang Kohler (1887 – 1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse yaitu mengenai mentalitas simpanse (ape) di pulau Canary, Spanyol. Kurt Koffka (1886 – 1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan dan Kurt Lewin (1892 – 1947) yang mengembangkan suatu teori belajar (cognitif field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Penelitian-penelitian tersebut kemudian menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.
            Istilah ‘Gestalt’ sendiri merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu bentuk, hal,  peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Terjemahannya dalam bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain shape psychology, configurationism, whole psychology, dan sebagainya. Adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahan ini mengakibatkan para sarjana di seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah ‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan kedalam bahasa lain. 
2.2  TEORI GESTALT SEBAGAI TEORI KOGNITIVISME
            Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt tersebut belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara jasmani dan rohaninya. Dengan demikian, pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subjektivitas-nya yang antara masing-masing individu bisa berlainan.
            Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh behaviorisme, terutama Thorndike, yang menganggap bahwa belajar sebagai proses trial and error, teori Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi  di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang diplajari oleh individu tersebut. Oleh karena itu, teori belajar gestalt ini disebut teori insight.
            Wolfgang Kohler menjelaskan teori gestalt ini melalui percobaan dengan seekor simpanse yang diberi nama Sultan. Dalam eksperimennya, Kohler ingin mengetahui bagaimana fungsi insight apat membantu memecahkan masalah dan membuktikn bahwa perilaku simpanse dalam memecahkan masalah yang dihadapinya tidak hanya didasarkan stimulusdan respons atau trial and eror saja, tapi juga karena ada pemahaman terhadap masalah dan bagaimana memecahkan masalah tersebut. Berikut eksperimen yang dilakukan Kohler terhadap simpanse (Fudyartanto, 2002).
Eksperimen I
            Simpanse dimasukkan dalam sangkar atau ruangan dan di dalam sangkar itu terdapat sebatang tongkat. Di luar sangkar diletakkan sebuah pisang. Problem yang dihadapi oleh simpanse adalah bagaimana simpanse dapat mengambil pisang tadi untuk dimakan. Pada awal dimasukkan sangkar, simpanse berusaha untuk mngambil pisang tersebut, tetapi selalu gagal karena tangannya tiak sampai untuk mengambil pisang tersebut. Kemudian simpanse melihat sebatang tongkat dan timbullah pengertian untuk meraih pisang dengan menggunakan tongkat tersebut.
Eksperimen II
            Problem yang dihadapi simpanse masih sama dengan eksperimen I, yaitu pisang masih aa di luar sangkar. Akan tetapi, pisang tersebut dapat diraih jika tongkatnya dapat disambung. Kemudian simpanse diletakkan dalam sangkar tersebut. Semula simpanse berusaha meraih pisang dengan satu tongkt, tetapi gagal. Tiba-tiba muncul insight dalam diri simpanse dan menyambung kedua tongkat dalam sangkar untuk meraih pisang di luar sangkar, dan ternyata berhasil.
Eksperimen III
            Problem yang dihadapi oleh simpanse di ubah, yakni pisang diletakkan di gantung di atas sangkar sehingga simpanse tidak dapat meraih pisang tersebut. Di sudut sangkar diletakkan sebuah kotak yang kuat untuk dinaiki oleh simpanse. Pada awalnya simpanse berusaha untuk meraih pisang yang digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian simpanse memperhatikan sekeliling sangkar dan ia melihat sebuah kotak yang kuat, maka timbullah pemahaman (insight) dalam diri simpanse, yakni menghubungkan kotak tersebut dengan pisang. Lalu kotak tersebut diambil dan ditaruh tepat di bawah pisang. Selanjutnya, simpanse menaiki kotak dan akhirnya ia dapat meraih pisang tersebut.
Eksperimen IV
            Sama dengan eksperimen tiga, pisang ditaruh di atas sangkar dan ada kotak, hanya saja pada eksperimen ini terdapat dua kotak yang dapat disambung untuk dinaiki dan digunakan untuk meraih pisang i atas sangkar. Pada awalnya simpanse menggunakan kotak satu untuk meraih pisangdi atas sangkar, tetpi gagal. Simpanse melihat ada satu kotak lagi di dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut dengan pisang dan kotak yang satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut simpanse menyusun kotak-kotak itu dan ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan akhirnya dapat meraih pisang di atas sangkar dengan tangannya.
            Dari eksperimen-eksperimen tersebut, Kohler menjelaskan bahwa simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua hal yang relean dengan problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan-percobaan tersebut menunjukkan simpanse dapat memecahkan problem-nya dengan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya.
            Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Kohler juga menunjukkan pentingnya pembentukan insight dalam proses belajar. Pembentukan insight dalam diri individu belajar terjadi karena ada persepsi terhadap lingkungan atau medan dan menstrukturnya sehingga membentuk menjadi suatu susunan yang bermakna, yaitu terbentuknya insight.

2.3  TEORI GESTALT SEBAGAI INSIGHT
            Proses belajar yang menggunakan insight (insight full learning) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990):
1.         Insight tergantung pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar yang dimiliki individu masing-masing berbeda-beda satu dengan yang lain. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada usia, biasanya usia yang muda lebih sukar belajar dengan insight.
2.         Insight tergantung pada pengalaman masa lampau yang relevan. Latar belakang turut membantu terbentuknya insight, tetapi tidak menjamin terbentuknya insight.
3.         Insight bergantung kepada pengaturan situasi yang dihadapi. Belajar insight hanya mungkin terjadi jika situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehinga semua aspek yang dibutuhkan dapat diobservasi.
4.         Insight didahului dengan periode mancari dan mencoba-coba. Individu dalam memecahkan masalah mungkin melakukan respons-respons yang kurang relevan terhadap penyelesaian problemnya.
5.         Solusi problem dengan menggunakan insight dapat diulangi dengan muah, dan akan berlaku secara langsung.
6.         Jika insight telah terbentuk, maka problem pada situasi-situasi yang lain akan dapat dipecahkan. Insight mempunyai kemampuan untuk dapat ditransfer dari satu masalah ke masalah yang lain, walaupun situasi-situasi yang menimbulkan insight berbeda dengan situasi-situasi dan materi hal yang baru, namun realisasi-realisasi dan generalisasinya sama.
Selain teori insight, teori gestalt juga menekankan pentingnya organisasi pengamatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan. Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt, disusunlah hukum-hukum gestalt yang berhubungan dengan pengamatan (Fudyartanto, 2002) sebagai berikut:
1.        Hukum Pragnanz
              Hukum Pragnanz merupakan hukum umum dalam psikologi gestalt. Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk bergerak ke arah penuh arti (pragnanz). Munurut hukum ini, jika seseorang mengamati sebuah atau sekelompok objek, maka orang tersebut akan cenderung memberi arti terhadap objek yang diamatinya, dengan memberikan kesan sedemikian rupa terhadap objek tersebut. Kesan yang memberikan arti terhadap objek mungkin didasarkan pada warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya.
2.        Hukum Kesamaan (the law of similarity)
              Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk gestalt atau kesatuan.
O O O O O O O O O O O O O
X X X X X X X X X X X X X
O O O O O O O O O O O O O
       Deretan bentuk diatas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan bentuk O dan X berganti-ganti bukan diliht sebagai deretan-deretan tegak.
3.        Hukum keterdekatan (the law of proximity)
              Hukum yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan
4.        Hukum ketertutupan (the law of closure)
              Prinsip hukum ketertutupan ini menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk gestalt.
5.        Hukum kontinuitas
              Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan atau gestalt. Jika gambar dibawah ini di amati, maka A-B atau C-D akan cenderung membentuk gestalt yang berkelanjutan.



BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
       Teori belajar psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Sedangkan  data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai Fenomena (gejala). Dimana fenomena adalah data-data yang mendasar dan hal ini sependapat dengan filsafat fenomologi yang mengartikan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral.
       Dalam teori belajar gestalt terdapat prinsip interaksi individu dengan lingkungan serta prinsip pengorganisasian. Selain itu, dalam aplikasi prinsip teori belajar psikologi gestel meliputi pada belajar, insight, dan memory.  Teori belajar psikologi gestalt mempelajari suatu fenomena secara totatalitas dan merumuskan beberapa hukum diantaranya adalah hukum keterdekatan, hukum ketertutupan, hukum kesamaan, dan hukum kontiunitas, yang kesemua hukum itu tunduk pada hukum Pragnaz. Dengan demikian teori belajar psikologi gestalt dapat diterapkan dalam proses belajar sehingga lebih dapat memahami suatu gejala atau fenomena secara keseluruhan.
       Makalah ini tentu jauh dari sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan sebagai bahan perbaikkan kedepannya. Semoga dengan adanya makalah tentang Teori Belajar Gestalt ini mampu menambah khazanah keilmuan kita terkait dengan proses pelaksanaan pengajaran yang bermutu dengan kata lain memiliki nilai presensi berkualitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar