BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengajaran identik dengan pendidikan. Proses pengajaran
adalah proses pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan adalah untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar belajar,
di dalamnya terdapat dua obyek yang saling terlibat yaitu guru dan peserta
didik.
Belajar adalah kegiatan yang
berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam melaksanakan setiap
jenis dan jenjang pendidikan. Adanya proses yang panjang dan tertata dengan
rapi serta berjenjang akan memungkinkan belajar menjadi lebih baik dan efisien.
Sudah
kita ketahui bahwa dalam proser belajar kita mengacu pada konsep belajar yang
dapat membantu kita dalam memahami suatu pembelajaran, seperti teori belajar
behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Teori tersebut
berkembang berdasarkan cara yang dilakukan dalam pembelajaran, dan dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai teori belajar kognitivisme dari
yang dikemukakan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai pendiri Psikologi
Gestalt.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejarah Teori Gestalt?
2.
Mengapa Teori Gestalt sebagai teori
kognitivisme?
3.
Mengapa
Teori Gestalt
sebagai insight?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH TEORI GESTALT
Perintis teori Gestalt
ialah Von Ehrenfels, dengan karyanya “Uber Gestaltqualitation” (1890). Aliran
ini menekankan pentingnya keseluruhan atau sesuatu yang melebihi jumlah
unsur-unsurnya dan timbul lebih dulu dari pada bagian-bagiannya. Pengikut
aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi yang berlawanan dengan konsepsi
aliran-aliran lain. Bagi yang mengikuti aliran Gestalt perkembangan adalah
proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah
keseluruhan, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder. Bagian-bagian sendiri
hanya mempunyai arti sebagai bagian dari pada keseluruhan dalam hubungan
fungsional dengan bagian-bagian yang lain. Bila kita bertemu dengan seorang
teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah
bajunya yang baru atau pulpennya yang bagus, atau dahinya yang terluka,
melainkan justru teman kita itu sebagai keseluruhan, baru kemudian menyusul
kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu seperti bajunya yang baru,
pulpennya yang bagus, dahinya yang terluka, dan sebagainya.
Teori ini kemudian dikembangkan di
Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi Gestalt memperkenalkan suatu
pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi
(behaviorism). Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) lahir di Jerman tahun
1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880 – 1943) yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Dari pengamatannya tersebut ia
menyesalkan tentang penggunaan metode menghafal di sekolah, kemudian ia
menghendaki agar siswa belajar dengan menggunakan pengertian bukan hafalan
akademis. Sumbangan ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti
Wolfgang Kohler (1887 – 1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse yaitu mengenai mentalitas simpanse (ape) di
pulau Canary, Spanyol. Kurt Koffka (1886 – 1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hukum-hukum pengamatan dan Kurt Lewin (1892 – 1947) yang
mengembangkan suatu teori belajar (cognitif field) dengan menaruh perhatian
kepada kepribadian dan psikologi sosial. Penelitian-penelitian tersebut
kemudian menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah
konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.
Istilah ‘Gestalt’ sendiri merupakan
istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain.
Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas.
Terjemahannya dalam bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain shape psychology, configurationism, whole
psychology, dan sebagainya. Adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahan ini
mengakibatkan para sarjana di seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah
‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan kedalam bahasa lain.
2.2 TEORI
GESTALT SEBAGAI TEORI KOGNITIVISME
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh
psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang
Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt tersebut belum merasa puas dengan
penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan belajar sebagai proses
stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut
mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada
stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk
individu yang utuh antara jasmani dan rohaninya. Dengan demikian, pada saat
manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi
juga melibatkan unsur subjektivitas-nya yang antara masing-masing individu bisa
berlainan.
Berbeda dengan teori-teori yang
dikemukakan oleh para tokoh behaviorisme, terutama Thorndike, yang menganggap
bahwa belajar sebagai proses trial and
error, teori Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang didasarkan
pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang
selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi di mana tingkah laku tersebut
terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam
situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu
individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori gestalt ini
menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah
dimengertinya apa yang diplajari oleh individu tersebut. Oleh karena itu, teori
belajar gestalt ini disebut teori insight.
Wolfgang Kohler menjelaskan teori
gestalt ini melalui percobaan dengan seekor simpanse yang diberi nama Sultan.
Dalam eksperimennya, Kohler ingin mengetahui bagaimana fungsi insight apat
membantu memecahkan masalah dan membuktikn bahwa perilaku simpanse dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya tidak hanya didasarkan stimulusdan respons
atau trial and eror saja, tapi juga
karena ada pemahaman terhadap masalah dan bagaimana memecahkan masalah
tersebut. Berikut eksperimen yang dilakukan Kohler terhadap simpanse
(Fudyartanto, 2002).
Eksperimen I
Simpanse dimasukkan dalam sangkar atau
ruangan dan di dalam sangkar itu terdapat sebatang tongkat. Di luar sangkar diletakkan
sebuah pisang. Problem yang dihadapi oleh simpanse adalah bagaimana simpanse
dapat mengambil pisang tadi untuk dimakan. Pada awal dimasukkan sangkar,
simpanse berusaha untuk mngambil pisang tersebut, tetapi selalu gagal karena
tangannya tiak sampai untuk mengambil pisang tersebut. Kemudian simpanse
melihat sebatang tongkat dan timbullah pengertian untuk meraih pisang dengan
menggunakan tongkat tersebut.
Eksperimen II
Problem yang dihadapi simpanse masih
sama dengan eksperimen I, yaitu pisang masih aa di luar sangkar. Akan tetapi,
pisang tersebut dapat diraih jika tongkatnya dapat disambung. Kemudian simpanse
diletakkan dalam sangkar tersebut. Semula simpanse berusaha meraih pisang
dengan satu tongkt, tetapi gagal. Tiba-tiba muncul insight dalam diri simpanse
dan menyambung kedua tongkat dalam sangkar untuk meraih pisang di luar sangkar,
dan ternyata berhasil.
Eksperimen III
Problem yang dihadapi oleh simpanse
di ubah, yakni pisang diletakkan di gantung di atas sangkar sehingga simpanse
tidak dapat meraih pisang tersebut. Di sudut sangkar diletakkan sebuah kotak
yang kuat untuk dinaiki oleh simpanse. Pada awalnya simpanse berusaha untuk
meraih pisang yang digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian
simpanse memperhatikan sekeliling sangkar dan ia melihat sebuah kotak yang
kuat, maka timbullah pemahaman (insight) dalam diri simpanse, yakni
menghubungkan kotak tersebut dengan pisang. Lalu kotak tersebut diambil dan
ditaruh tepat di bawah pisang. Selanjutnya, simpanse menaiki kotak dan akhirnya
ia dapat meraih pisang tersebut.
Eksperimen IV
Sama dengan eksperimen tiga, pisang
ditaruh di atas sangkar dan ada kotak, hanya saja pada eksperimen ini terdapat
dua kotak yang dapat disambung untuk dinaiki dan digunakan untuk meraih pisang
i atas sangkar. Pada awalnya simpanse menggunakan kotak satu untuk meraih
pisangdi atas sangkar, tetpi gagal. Simpanse melihat ada satu kotak lagi di
dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut dengan pisang dan kotak yang
satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut simpanse menyusun kotak-kotak itu dan
ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan akhirnya dapat meraih pisang di atas
sangkar dengan tangannya.
Dari eksperimen-eksperimen tersebut,
Kohler menjelaskan bahwa simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat
membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua
hal yang relean dengan problem yang dihadapinya sebelum muncul insight. Dari percobaan-percobaan
tersebut menunjukkan simpanse dapat memecahkan problem-nya dengan insightnya, dan ia akan mentransfer insight tersebut untuk memecahkan
problem lain yang dihadapinya.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan
oleh Kohler juga menunjukkan pentingnya pembentukan insight dalam proses belajar. Pembentukan insight dalam diri individu belajar terjadi karena ada persepsi
terhadap lingkungan atau medan dan menstrukturnya sehingga membentuk menjadi
suatu susunan yang bermakna, yaitu terbentuknya insight.
2.3 TEORI GESTALT SEBAGAI INSIGHT
Proses belajar yang menggunakan
insight (insight full learning)
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990):
1.
Insight tergantung
pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar yang dimiliki individu masing-masing
berbeda-beda satu dengan yang lain. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada
usia, biasanya usia yang muda lebih sukar belajar dengan insight.
2.
Insight
tergantung pada pengalaman masa lampau yang relevan. Latar belakang turut
membantu terbentuknya insight, tetapi tidak menjamin terbentuknya insight.
3.
Insight
bergantung kepada pengaturan situasi yang dihadapi. Belajar insight hanya mungkin terjadi jika situasi
belajar diatur sedemikian rupa, sehinga semua aspek yang dibutuhkan dapat
diobservasi.
4.
Insight
didahului dengan periode mancari dan mencoba-coba. Individu dalam memecahkan
masalah mungkin melakukan respons-respons yang kurang relevan terhadap penyelesaian
problemnya.
5.
Solusi
problem dengan menggunakan insight dapat diulangi dengan muah, dan akan berlaku
secara langsung.
6.
Jika
insight telah terbentuk, maka problem
pada situasi-situasi yang lain akan dapat dipecahkan. Insight mempunyai kemampuan untuk dapat ditransfer dari satu
masalah ke masalah yang lain, walaupun situasi-situasi yang menimbulkan insight
berbeda dengan situasi-situasi dan materi hal yang baru, namun
realisasi-realisasi dan generalisasinya sama.
Selain teori insight,
teori gestalt juga menekankan pentingnya organisasi pengamatan terhadap stimuli
di dalam lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan. Melalui
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt, disusunlah
hukum-hukum gestalt yang berhubungan dengan pengamatan (Fudyartanto, 2002)
sebagai berikut:
1.
Hukum Pragnanz
Hukum
Pragnanz merupakan hukum umum dalam psikologi gestalt. Hukum ini menyatakan
bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk bergerak ke arah penuh arti (pragnanz). Munurut hukum ini, jika
seseorang mengamati sebuah atau sekelompok objek, maka orang tersebut akan
cenderung memberi arti terhadap objek yang diamatinya, dengan memberikan kesan
sedemikian rupa terhadap objek tersebut. Kesan yang memberikan arti terhadap objek
mungkin didasarkan pada warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya.
2.
Hukum Kesamaan (the law of similarity)
Hukum
ini menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk gestalt atau
kesatuan.
O O O O O
O O O O O O O O
X X X X X
X X X X X X X X
O O O O O
O O O O O O O O
Deretan
bentuk diatas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan
bentuk O dan X berganti-ganti bukan diliht sebagai deretan-deretan tegak.
3.
Hukum keterdekatan (the law of proximity)
Hukum
yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk
kesatuan
4.
Hukum ketertutupan (the law of closure)
Prinsip
hukum ketertutupan ini menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung
membentuk gestalt.
5.
Hukum kontinuitas
Hukum
ini menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan
(kontinuitas) yang baik akan mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan atau
gestalt. Jika gambar dibawah ini di amati, maka A-B atau C-D akan cenderung
membentuk gestalt yang berkelanjutan.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Teori belajar psikologi Gestalt merupakan
salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu
keseluruhan atau totalitas. Sedangkan
data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai Fenomena (gejala).
Dimana fenomena adalah data-data yang mendasar dan hal ini sependapat dengan
filsafat fenomologi yang mengartikan bahwa suatu pengalaman harus dilihat
secara netral.
Dalam
teori belajar gestalt terdapat
prinsip interaksi individu dengan lingkungan serta prinsip pengorganisasian.
Selain itu, dalam aplikasi prinsip teori belajar psikologi gestel meliputi pada
belajar, insight, dan memory. Teori belajar psikologi gestalt mempelajari
suatu fenomena secara totatalitas dan merumuskan beberapa hukum diantaranya adalah
hukum keterdekatan, hukum ketertutupan, hukum kesamaan, dan hukum kontiunitas,
yang kesemua hukum itu tunduk pada hukum Pragnaz. Dengan demikian teori belajar
psikologi gestalt dapat diterapkan dalam proses belajar sehingga lebih dapat
memahami suatu gejala atau fenomena secara keseluruhan.
Makalah
ini tentu jauh dari sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diperlukan sebagai bahan perbaikkan kedepannya. Semoga dengan adanya makalah
tentang Teori Belajar Gestalt ini
mampu menambah khazanah keilmuan kita terkait dengan proses pelaksanaan
pengajaran yang bermutu dengan kata lain memiliki nilai presensi berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar