BAB
I
PENDAHULUAN
Pada
masa kanak-kanak awal, anak berpikir konvergen menuju ke suatu jawaban yang paling mungkin dan yang paling
benar terhadap suatu persoalan. Menurut teori perkembangan kognitif Piaget,
anak pada masa kanak-kanak awal berada pada tahap perkembangan praoperasional
(2-7tahun), istilah praoperasional menunjukan pada pengertian belum matangnya
cara kerja pikiran. Pemikiran pada tahap praoperasional masih kacau dan belum
terorganisasi dengan baik (Santrock, 2002) yang sering dikatakan anak belum
mampu menguasai operasi mental secara logis.
Suatu mitos bertahan hingga sekarang, bahwa menjadi
tua berarti mengalami kemunduran intelektual. Mitos ini diperkuat oleh sejumlah
peneliti awal yang berpendapat bahwa seiring dengan proses penuaan selama masa
dewasa terjadi kemunduran dalam inteligensi umum. Misalnya dalam studi kros-seksional,
meneliti menguji orang-orang dari berbagai usia pada waktu yang sama. Ketika
memberikan tes inteligensi kepada sampel yang representatif, peneliti secara
konsisten menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua memberikan lebih sedikit
jawaban yang benar dibanding orang dewasa yang lebih muda. Oleh karena itu,
David Wechsler (1972), menyimpulkan bahwa kemunduran kemampuan mental merupakan
bagian dari proses penuaan organisme secara umum. Hampir semua studi
menunjukkan bahwa setelah mencapai puncaknya pada usia antara 18 dan 25 tahun,
kebanyakan kemampuan manusia terus-menerus mengalami kemunduran.
Akan
tetapi, studi Thorndike mengenai kemampuan belajar orang dewasa menyimpulkan
bahwa kemampuan belajar mengalami kemunduran sekitar 15% pada usia 22 dan 42
tahun. Kemampuan untuk mempelajari pelajaran-pelajaran sekolah ternyata hanya
mengalami kemunduran sekitar 0,5% sampai 1% setiap tahun antara usia 21 dan 41
tahun. Memang, puncak kemampuan belajar bagi kebanyakan orang terdapat pada
usia 25 tahun, namun kemunduran yang terjadi sesudah usia 25 hingga 45 tahun
tidak signifikan. Bahkan pada usia 45 tahun kemampuan belajar seorang sama
baiknya dengan ketika mereka masih berusia antara 20 hingga 25 tahun
(Witherington, 1986).
Studi
Thorndike tersebut menunjukkan bahwa kemunduran kemampuan intelektual pada
orang dewasa tidak disebabkan oleh faktor usia, melainkan oleh faktor-faktor
lain. Witherington (1986), menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya
kemunduran kemampuan belajar orang dewasa. Pertama, ketiadaan kapasitas dasar.
Orang dewasa tidak akan memiliki kemampuan belajar bila pada usia muda juga tidak
memiliki kemampuan belajar yang memadai. Kedua, terlampau lamanya tidak
melakukan aktifitas-aktifitas yang bersifat intelektual. Artinya, orang-orang
yang telah berhenti membaca bacaan-bacaan yang “berat” dan berhenti pula
melakukan pekerjaan intelektual, akan terlihat bodoh dan tidak mampu melakukan
pekerjaan-pekerjaan semacam itu. Ketiga, faktor budaya, terutama cara seorang
memberikan sambutan, seperti kebiasaan, cita-cita, sikap dan
prasangka-prasangka yang telah mengantar, sehingga setiap usaha untuk
mempelajari cara sambutan yang baru akan mendapat tantangan yang kuat.
Berbicara
mengenai perkembangan kognitif seringkali tidak dapat dipisahkan dari seorang
pelopor psikologi kognitif yang bernama Jean Piaget. Dia memang merupakan
seorang ahli psikologi yang memberikan sumbangan sangat besar dalam psikologi
kognitif.Hasil-hasil pemikiran dan temuan-temuan penelitian Jean Piaget yang
dilakukan secara serius terhadap tiga orang anaknya secara longitudinal
bertahun-tahun, sampai saat ini masih berpengaruh di dunia ilmu psikologi
maupun pendidikan yang membahas intelek atau perkembangan berpikir manusia.
Piaget merupakan ahli psikologi yang mempelopori pembahasan berpikirmanusia
dengan menyusun tahapan-tahapan atau tingkatan kemampuan berpikir manusia
sehingga dapat diketahui kemampuan berpikir manusia sesuai dengan perkembangan
umur mereka.
Perkembangan
kognitif manusia yang merupakan proses psikologis didalamnya melibatkan
proses-proses memperoleh, menyusun dan menggunakan pengetahuan, serta
kegiatan-kegiatan mental, seperti: mengingat, berpikir, menimbang, mengamati,
menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan memecahkan persoalan yang
berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan.
Jean
Piaget tidak sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa kecerdasan
adalah merupakan faktor bawaan, yang berarti manusia tinggal menerima
perbedaan-perbedaan yang ada, karena pandangan seperti ini akan membawa
pengaruh kurang positif atau bahkan negatif terhadap proses pendidikan dan
upaya pengembangan kemampuan berpikir anak. Berdasarkan penelitiannya yang
dilakukan secara serius dengan cara mengobservasi secara partisipan dalam
jangka waktu lama, Jean Piaget mendapati bahwa anak pada umur tertentu
mengalami kesulitan untuk mengerti hal-hal yang sebenarnya sederhana.
Berdasarkan
persoalan-persoalan yang dijabarkan diatas, mengingat perlunya hal itu. Maka
Penulis akan membahas permasalahan mengenai “PERKEMBANGAN KOGNITIF”.
BAB
II
PERKEMBANGAN
KOGNITIF
Perkembangan Kognitif manusia merupakan proses psikologis yang
melibatkan proses-proses memperoleh, menyusun dan menggunakan pengetahuan,
serta kegiatan-kegiatan mental.
2.1 Pengertian
Kognitif
Istilah kognitif seringkali dikenal
dengan istilah intelek. Intelek berasal dari Bahasa Inggris “intellect” yang menurut Chaplin (1981)
diartikan sebagai:
1. Proses
kognitif,proses berpikir,daya menghubungkan,kemampuan menilai dan kemampuan
mempertimbangkan.
2. Kemampuan
mental atau inteligensi.
Menurut Mahfudin Shalahudin (1989)
dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan
untuk meletakkan hubungan-hubungan dari proses berpikir. Selanjutnya dikatakan
bahwa orang yang intelligent adalah
orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam tempo yang lebih singkat,
memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.
Istilah inteligensi, semula berasal
dari bahasa Latin “intelligere” yang
berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut William Stern,
salah seorang pelopor dalam penelitian intelegensi, mengatakan bahwa
inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat segenap alat-alat
bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru.
Sedangkan Leis HedisonTerman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan
untuk belajar secara abstrak (Patty F, 1982). Disini Terman membedakan antara “concrete ability” yaitu kemampuan yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkrit dan “abstract ability” yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen menurut Terman jika orang
tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa pengertian intelek tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang
memiliki arti kemampuan untuk melakukan abstraksi serta berpikir logis dan
cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Jean Piaget mendefinisikan “intellect” ialah akal budi berdasarkan
aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses-proses berpikir yang lebih tinggi
(Bybee dan Sund, 1982).
Sedangkan
“intelligence”atau intelegensi
menurut Jean Piaget diartikan sama dengan “kecerdasan” yaitu seluruh kemampuan
berpikir dan bertindak secara adaptif termasuk kemampuan-kemampuan mental yang
kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan
bahwa intelegensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur
kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi
baru. Dalam arti sempit,intelegensi seringkali diartikan sebagai intelegensi
operasional, termasuk pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode sensori-motoris
sampai dengan operasional formal.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
kognitif adalah seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif
termasuk kemampuan-kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir,
mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan menyesuikan
persoalan-persoalan. Istilah kognitif serimgkali dikenal dengan istilah
intelek, yang berarti proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai
dan kemampuan mempertimbangkan. Kognitif dapat juga diartikan akal budi
berdasarkan aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses-proses berpikir yang
lebih tinggi.
2.2 Tahapan
Perkembangan Kognitif
Jean
Piaget membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan,yaitu:
2.2.1 Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2
tahun. Pada tahap ini anak berada dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai
oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang amat jelas. Segala
perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris
tersebut. Menurut Piaget, pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya,
termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya.
Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dalam
melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak
mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan-sentuhan,
melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-lahan belajar mengkoordinasikan
tindakan-tindakannya.
2.2.2
Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7
tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya
memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif, dalam arti
semua perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran tapi oleh unsur
perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang
bermakna dan lingkungan sekitarnya.
Pada tahap ini, menurut Piaget,
anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi
dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk dapat memahami
pandangan-pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan
pandangan-pandangannya sendiri. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ia
masih sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan karena masih
punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap
situasi.
Pada tahap ini anak tidak hanya
ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu
menyimpan kata-kata serta menggunakannya, terutama yang berhubungan erat dengan
kebutuhan mereka. Pada masa ini anak siap untuk belajar bahasa, membaca, atau
menyanyi. Menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara pada anak akan
mempunyai akibat sangat baik pada perkembangan bahasa mereka. Cara belajar yang
memegang peran pada tahap ini ialah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dan
berbicara semaunya tanpa menghiraukan pengalaman konkrit dan paksaan dari luar.
Sering kita lihat anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya,
misalnya: berbicara dengan pohon, anjing, kucing dan sebagainya yang menurut
mereka benda-benda tersebut dapat mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam
ini sangat baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget
menyebut tahap ini sebagai “collective
monolog”, pembicara yang egosentris dan sedikit berhubungan dengan orang
lain.
2.2.3
Tahap Operasional Konkrit
Tahap ini berlangsung antara usia
7-11 tahun. Pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkrit
dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini, menurut Piaget,
interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin
berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah
dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang
lain dalam cara-cara yang kurang egosentrisnya dan lebih obyektif. Pada tahap
ini juga, anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah
menguji coba suatu permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkrit
menyebabkan mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi
tentang sesuatu yang konkrit. Disini sering terjadi kesulitan antara orang tua
dan guru. Misalnya: orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah,
tetapi memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru di sekolah,
sehingga anak tidak mau atau tidak setuju karena menganggap cara yang dilakukan
oleh orang tuanya itu salah. Itu bisa terjadi karena seringkali anak lebih
percaya terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya.
Akibatnya,kedua cara, baik yang diberikan oleh guru maupun orang tua sama-sama
tidak dimengerti oleh anak.
2.2.4
Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada
usia 11 tahun keatas. Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu
keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek
perasaandan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung
penyelesaian tugas-tugasnya. Pada tahap ini, menurut Piaget, interaksinya
dengan lingkungan sudah amat luas menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan
berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini
tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orang tua. Namun,
sebenarnya secara diam-diam mereka juga masih mengharapkan perlindungan dari
orang tua karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya
sendiri. Jadi, pada tahap ini ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas
dengan ingin dilindungi. Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu
mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan
rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka
mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan pengaruh
positif bagi perkembangan kognitifnya. Misalnya: menulis puisi, lomba karya
ilmiah, lomba menulis cerpen dan sejenisnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan
perkembangan kognitif dibagi menjadi empat tahapan yaitu tahap sensori-motoris
(dimana interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari
lingkungannya), tahap praoperasional (pada tahap ini tidak hanya ditentukan
oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga pada intuisi), tahap operasional
konkrit (pada tahap ini sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka
sudah menguji coba suatu permasalahan), dan tahap operasional formal (pada
tahap ini sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mencapai logika
dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi).
2.3
Hubungan Kognitif dengan Tingkah Laku
Intelegensi, menurut Piaget,
merupakan pernyataan dari tingkah laku adaptif yang terarah kepada kontak
dengan lingkungan dan penyusunan pemikiran. Piaget memposisikan subjek sebagai
pihak yang aktif dalam interaksi adaptif antara organisme atau terjadi hubungan
dialektis antara organisme dengan lingkungannya. Apa yang dikatakan oleh Piaget
ini, kenyataannya memang benar sebab organisme tidak pernah pisah dari
lingkungannya dan juga bukan sebagai penerima yang pasif. Interaksi antara
organisme dengan lingkungannya lebih bersifat interaksi timbal balik. Hanya
dalam bentuk interaksinya juga setiap perubahan tingkah laku merupakan hasil
dialektis pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya. Karena
pandangannya yang demikian itu, maka teori Piaget tentang intelegensi atau
kognitif disebut juga dengan “teori
interaksionisme (interactionism theory)” (Bybee dan Sund, 1982).
Jean Piaget memiliki pandangan
dasar bahwa setiap organisme memiliki kecenderungan inheren untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Inteligensi sebagai bentuk khusus dari penyesuaian
organisme, baru dapat diketahui berkat dua proses yang saling mengisi yaitu
yang disebut dengan istilah “asimilasi”
dan “akomodasi”. Organisme sebagai
suatu sistem dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena kemampuan
mengakomodasi struktur kognitifnya sedemikian rupa sehingga obyek yang baru itu
dapat ditangkap dan dipahami secara memadai. Asimilasi adalah suatu proses
individu memasukkan dan menggabungkan pengalaman-pengalaman dengan struktur
psikologis yang telah ada pada diri individu. Struktur psikologis dalam diri
individu ini disebut dengan istilah “skema”
yang berarti kerangka mental individu yang digunakan untuk menafsirkan segala
sesuatu yang dilihat atau didengarnya. Skema
mampu menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadilah suatu
rangkaian tindakan fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.
Sangat boleh jadi dalam perkembangan
selama kurun waktu tertentu berbagai pengalaman baru tidak sesuai lagi dengan
struktur psikologis dalam diri individu dan tidak dapat diasimilasikan kedalam
skema-skema yang telah ada. Oleh sebab itu, skema
harus diubah, diperluas, dan disesuaikan dengan fakta-fakta yang diperoleh
melalui pengalaman-pengalaman baru. Proses penyesuaian skema dengan fakta-fakta
yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman baru ini dikenal dengan istilah “akomodasi”. Dengan demikian, proses
asimilasi dan akomodasi merupakan dua proses yang berlawanan. Jika dalam
asimilasi proses yang terjadi adalah menyesuaikan pengalaman-pengalaman baru
yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam diri individu, sedangkan
akomodasi merupakan proses penyesuaian skema dalam diri individu dengan
fakta-fakta baru yang diperoleh melalui pengalaman dari lingkungannya.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan kognitif dengan tingkah laku
merupakan proses interaksi adaptif yang terarah kepada kontak dengan lingkungan
dan penyusunan pemikiran. Interaksi antara organisme dengan lingkungannya lebih
bersifat interaksi timbal balik. Dalam bentuk interaksi setiap perubahan
tingkah laku merupakan hasil dialektis pengaruh timbal balik antara organisme
dan lingkungannya.
2.4Karakteristik
Perkembangan Kognitif Subjek Didik
Sebagaimana telah didiskusikan
terdahulu bahwa Piaget membagi empat tahapan perkembangan kognitif, yaitu:
(1) Tahap sensori-motoris
(2) Tahap praoperasional
(3) Tahap operasional konkrit
(4) Tahap operasional formal.
Pada tiap-tiap tahapan perkembangan kognitif subjek didik
memiliki karakteristik tersendiri sebagai perwujudan kemampuan intelek individu
sesuai dengan tahap perkembangannya.
Adapun karakteristik setiap tahapan
perkembangan intelek tersebut adalah:
2.4.1
Karakteristik Tahap Sensori Motoris
Tahap sensori-motoris ditandai
dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:
a. Segala tindakannya masih
bersifat naluriah
b. Aktifitas pengalaman didasarkan
terutama pada pengalaman indera
c. Individu baru mampu melihat dan
meresapkan pengalaman, tetapi belum mampu untuk mengkategorikan pengalaman itu
d. Individu mulai belajar menangani
obyek-obyek konkrit melalui skema-skema sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas
karakteristik tahap sensori-motoris ini, maka Piaget merinci lagi tahap
sensori-motoris kedalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik
tersendiri sebagai berikut:
1. Fase
pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Individu
mampu bereaksi secara refleks
b. Individu
mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum terkoordinasi dengan baik
c. Individu
mampu mengasimilasi dan mengakomodasikan berbagai pesan dari lingkungannya.
2. Fase
kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu memperluas skema
yang dimilikinya berdasarkan heriditas.
3. Fase
ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat memahami
hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang terjadi pada
benda itu.
4. Fase
keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Individu
mampu memahami bahwa benda tetap ada meskipun untuk sementara waktu hilang dan
akan muncul lagi diwaktu lain.
b. Individu
mulai mampu mencoba-coba sesuatu.
c. Individu
mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang tua.
5. Fase
kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Individu
mulai mampu untuk meniru
b. Individu
mampu untuk melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya secara lebih
lancar.
6. Fase
keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Individu
mulai mampu untuk mengingat dan berpikir.
b. Individu
mampu untuk berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa sederhana.
c. Individu
mampu berpikir untuk memecahkan masalah sederhana sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
d. Individu
mampu memahami diri sendiri sebagai individu yang sedang berkembang.
2.4.2 Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan
karakteristik menonjol sebagai berikut:
a. Individu
telah mengkombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi.
b. Individu
telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide.
c. Individu
telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa konkrit,
meskipun logika tentang hubungan sebab akibat itu tentu belum tepat.
d. Cara
berpikir individu bersifat egosentris yang ditandai oleh tingkah laku berikut
ini:
1)
Berpikir imanigatif
2)
Berbahasa egosentris
3)
Memiliki “aku” yang
tinggi
4)
Menampakkan dorongan
ingin tahu yang tinggi
5)
Perkembangan bahasa
mulai pesat
2.4.3 Karakteristik Tahap Operasional Konkrit
Tahap operasional konkrit ini ditandai
dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:
a. Segala
sesuatu dipahami oleh individu sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana
kenyataan yang mereka alami.
b. Cara
berpikir individu belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah
nampak sistematis dan logis.
c. Dalam
memahami konsep, individu sangt terikat kepada proses mengalami sendiri.
Artinya, individu akan mudah memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat
diamati atau individu itu melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep
tersebut.
2.4.4 Karakteristik
Tahap Operasional Formal
Tahap operasional formal ini ditandai
dengan karakteristik menonjol sebagai berikut:
a. Individu
dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi
b. Individu
mulai mampu berpikir logis dengan obyek-obyek yang abstrak
c. Individu
mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis
d. Individu
bahkan mulai mampu membuat prakiraan (forecasting)
di masa depan
e. Individu
mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri sendiri
dapat berkembang dengan baik
f. Individu
mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagaiorang
dewasa
g. Individu
mulai mampu untuk menyadari diri, mempertahankan kepentingan masyarakat
dilingkungannya, dan kepentingan seseorang dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik perkembangan kognitif
subjek didik dibagi menjadi empat tahapan perkembangan yaitu karakteristik tahap
sensori-motoris, karakteristik tahap praoperasional, karakteristik tahap
operasional konkrit dan karakteristik tahap operasional formal.
2.5Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Subjek Didik
Mengenai faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif
individu ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli psikologi. Kelompok
psikometrikaradikal berpendapat bahwa perkembangan intelektual individu itu
sekitar 90% ditentukan oleh faktor heriditas, sedangkan pengaruh lingkungan,
termasuk di dalamnya pendidikan, hanya memberikan kontribusi sekitar 10% saja.
Kelompok ini memberikan bukti bahwa individu yang memiliki heriditas
intelektual unggul, maka akan sangat mudah mengembangkannya meskipun hanya
dengan intervensi lingkungan secara tidak maksimal. Sebaliknya, individu yang
memiliki heriditas intelektual rendah maka intervensi lingkungan seringkali
mengalami kesulitan meskipun sudah dilakukan secara maksimal.
Kelompok penganut pedagogis radikal
amat yakin bahwa intervensi lingkungan, termasuk pendidikan, justru memiliki
andil sekitar 80-85%, sedangkan heriditas hanya memberikan kontribusi 15-20%
terhadap perkembangan intelektual individu. Syaratnya adalah memberikan
kesempatan rentang waktu yang cukup bagi individu untuk mengembangkan
intelektualnya secara maksimal.
Dengan tanpa mempertentangkan kedua
kelompok radikal itu,maka perkembangan kognitif sebenarnya dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu heriditas dan lingkungan. Pengaruh kedua faktor itu pada
kenyataannya tidak terpisah secara sendiri-sendiri melainkan seringkali
merupakan resultante dari interaksi keduanya. Pengaruh faktor heriditas dan
lingkungan terhadap perkembangan kognitif itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.5.1 Faktor heriditas.
Semenjak dalam kandungan anak telah
memiliki sifat-sifat yang menentukan daya kerja kognitifnya. Secara potensial
anak telah membawa kemungkinan, apakah akan memiliki kemampuan berpikirnormal,
di atas normal, atau di bawah normal. Namun potensi ini tidak akan berkembang
atau terwujud secara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk
berkembang. Oleh karenanya, peranan lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap
perkembangan intelektual anak.
2.5.2 Faktor lingkungan.
Ada dua unsur lingkungan yang
sangat penting peranannyadalam mempengaruhi perkembangan kognitif anak, yaitu keluarga
dan sekolah.
a. Keluarga.
Intervensi yang palingpenting dilakukan
oleh keluarga atau orang tua adalah memberikan pengalaman kepada anak dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang
merupakan alat bagi anak untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan misalnya
memberi kesempatan kepada anak untuk merealisasikan ide-idenya, menghargai
ide-ide tersebut, memuaskan dorongan ingin tahu anak dengan cara menyediakan
bacaan, alat-alat keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya
kreativitas anak. Pemberian kesempatan atau pengalaman tersebut sudah barang
tentu menuntut perhatian orang tua.
b. Sekolah.
Sekolah adalah lembaga formal yang
diberi tanggung jawab untuk meningkatkan perkembangan anak termasuk
perkembangan intelektual anak. Dalam konteks ini, guru hendaknya menyadari
betul bahwa perkembangan kognitif anak terletak di tangannya. Beberapa cara
yang dapat dilakukan guru di antaranya ialah:
1) Menciptakan interaksi atau
hubungan yang akrab dengan peserta didik. Dengan hubungan yang akrab tersebut,
secara psikologis peserta didik akan merasa aman sehingga segala masalah yang
dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan guru mereka.
2) Memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang yang ahli
dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
3) Membawa
para peserta didik ke obyek-obyek tertentu seperti obyek budaya, ilmu pengetahuan
dan sejenisnyasangat menunjang perkembangan intelektual para peserta didik.
4) Menjaga dan
meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan olahraga maupun
menyediakan gizi yang cukup sangat penting bagi perkembangan intelek peserta
didik. Sebab jika peserta didik terganggu secara fisik perkembangan kognitifnya
akan terganggu juga.
5) Meningkatkan kemampuan berbahasa
peserta didik, baik melalui media cetak maupun menyediakan situasi yang
memungkinkan para peserta didik berpendapat atau mengemukakan ide-idenya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan kognitif subjek didik adalah faktor heriditas (peranan lingkungan
besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak), faktor lingkungan
yang meliputi dua unsur lingkungan yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan
sekolah.
2.6Perbedaan
Individual dalam Perkembangan Kognitif
Secara heriditas individu telah
memiliki potensi-potensi yang dapat menyebabkan perbedaan dalam perkembangan
kognitif mereka. Potensi tersebut berkembang atau tidak, tergantung pada
lingkungan. Ini berarti bahwa apakah anak akan menjadi memiliki kemampuan berpikir
normal, di atas normal, atau di bawah normal juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Perbedaan individual dalam
perkembangan kognitif menunjuk kepada perbedaan dalam kemampuan dan kecepatan
belajar. Perbedaan-perbedaaan individual peserta didik akan tercermin dalam
sifat-sifat atau ciri-ciri mereka baik dalam kemampuan, ketrampilan, maupun
sikap dan kebiasaan belajar, kualitas proses dan hasil belajar, baik dalam ranah
kognitif, efektif dan psikomotor. Perbedaan intelektual anak ini akan tampak sekali
jika diamati dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas. Ada peserta didik yang
cepat, ada yang sedang, dan ada pula yang lambat dalam penguasaan materi
pelajaran.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan individual dalam perkembangan
kognitif menunjuk kepada perbedaan dalam kemampuan dan kecepatan belajar.
Perbedaan-perbedaan individual akan tercermin dalam sifat-sifat atau ciri-ciri
mereka. Perbedaan intelektual akan tampak sekali jika diamati dalam proses
belajar mengajar di dalam kelas.
2.7
Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Kognitif Subjek Didik
Ikhtiar pendidikan, khususnya
melalui proses pembelajaran, guna mengembangkan kemampuan kognitif subjek didik
adalah perlunya disadari betul oleh para pendidik bahwa kemampuan intelektual setiap
peserta didik harus dipupuk dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap
individu terwujud sesuai dengan keberbedaan masing-masing. Menurut Conny
Semiawan (1984) penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan
kemampuan intelektual anak yang di dalamnya menyangkut keamanan psikologis dan
kebebasan psikologis merupakan faktor yang amat penting.
Kondisi psikologis yang perlu
diciptakan agar subjek didik merasa aman secara psikologis sehingga mampu
mengembangkan kemampuan kognitifnya adalah:
1) Pendidik
menerima subjek didik secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional positive regard).
Artinya, apapun adanya subjek didik dengan segala kekuatan dan kelemahannya
harus diterima dengan baik serta memberi kepercayaan padanya bahwa pada
dasarnya setiap subjek didik memiliki kemampuan kognitif yang dapat
dikembangkan secara maksimal.
2) Pendidik
menciptakan suasana dimana subjek didik tidak merasa terlalu dinilai oleh orang
lain. Terlalu memberikan penilaian terhadap subjek didik dapat dirasakan
sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri. Memang
kenyataannya pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah,
tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak bersifat mencemaskan
bagi subjek didik melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap
kompetitif secara sehat.
3) Pendidik
harus bisa berempati. Artinya, dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku
subjek didik, dapat menempatkan diri dalam situasi subjek didik serta melihat
sesuatu dari sudut pandang mereka. Dalam suasana seperti ini, subjek didik akan
merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikirannya atau ide-idenya.
4) Penting
bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap tahap
perkembanagan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan
tindakan edukatif yang tepat sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang
memahami benar-benar pengalaman belajar yang diterimanya. Mencocokkan sistem
pembelajaran dengan kebutuhan peserta didik merupakan cara yang bagus untuk
pengembangan intelektual peserta didik.
5) Model
pembelajaran yang aktif adalah tidak menunggu sampai peserta didik siap
sendiri, tetapi guru menciptakan lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga
dapat memberi kemungkinan maksimal pada subjek didik untuk berinteraksi
edukatif sehingga mendorong percepatan perkembangan kognitifnya.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran untuk membantu
perkembangan kognitif subjek didik merupakan ikhtiar pendidikan guna mengembangkan
kemampuan kognitif subjek didik. Kemampuan intelektual setiap peserta didik
harus dipupuk dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap individu
terwujud sesuai dengan perbedaan masing-masing. Penciptaan kondisi lingkungan
yang kondusif bagi pengembangan kemampuan intelektual anak merupakan faktor
yang amat penting.
BAB III
PENUTUP
3.1.Berdasarkan uraian mengenai perkembangan kognitif
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Istilah intelek berasal dari Bahasa
Inggris “intellect” yang berarti:
Proses
kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan
mempertimbangkan, kemampuan
mental atau inteligensi.
Jean Piaget mendefinisikan “intellect” ialah akal budi berdasarkan
aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses-proses berpikir yang lebih tinggi.
Sedangkan “intelligence” atau
inteligensi menurut Piaget diartikan sama dengan “kecerdasan” yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara
adaptif termasuk kemampuan-kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir,
memahami, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan
menyelesaikan persoalan-persoalan.
Jean Piaget membagi perkembangan
intelek/kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut:Tahap Sensori-Motoris
(0-2 tahun). Pada tahap ini berada dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai
oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang amat jelas segala
perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris
tersebut, Tahap Praoperasional
(2-7 tahun). Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan
kognitifnya memperhatikan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif.
Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran, tetapi oleh
unsur perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari
orang-orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya, Tahap Operasional Konkrit (7-11 tahun).
Pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkrit dan sudah
mulai berkembang rasa ingin tahunya. Interaksinya dengan lingkungan, termasuk
dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya
sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi,
dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam cara-cara yang lebih obyektif dan Tahap Operasional
Formal (11 keatas). Pada tahap ini anak telah mampu mewujudkan suatu
keseluruhan dalam pekerjaaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis, mampu
berpikir abstrak, dan memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis.
Hubungan Kognitif dengan tingkah laku
adalah bahwa inteligensi merupakan pernyataan dari tingkah laku adaptif yang
terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (interactionism theory).
Proses interaksi individu sesuai dengan
perkembangan kognitifnya dilakukan melalui “asimilasi”
dan “akomodasi”. Dalam asimilasi
proses yang terjadi adalah menyesuaikan pengalaman-pengalaman baru yang
diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam diri individu. Akomodasi merupakan
proses penyesuaian skema dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang
diperoleh melalui pengalaman dari
lingkungannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif adalah:Faktor heriditas dan Faktor lingkungan, yang meliputi
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Upaya membantu perkembangan kognitif
subjek didik adalah:Pendidik menerima subjek didik secara positif sebagaimana
adanya tanpa syarat (unconditional
positive regard), Pendidik menciptakan
suasana dimana subjek didik tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain, Pendidik mampu
berempati, yakni dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku subjek didik,
dapat menempatkan diri dalam situasi subjek didik, serta melihat sesuatu dari
sudut pandang mereka.
3.2. Saran
Ø Saran untuk remaja :Dalam proses perkembangan intelektual seharusnya remaja
lebih dahulu mengembangkan konsep-konsep yang ada dilingkungan sekitarnya
sehingga dalam proses perkembangan intelektual remaja dapat memahami keadaan
lingkungan sekitar dan remaja harus bisa menggunakan kemampuan secara tepat
dalam proses pemahaman intelektual sehingga dapat menyesuaikan dengan
tuntutan-tuntutan baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Ø Saran untuk keluarga atau orang tua: Dalam proses perkembangan intelektual anak, orang tua
tidak hanya mengamati secara indrawi saja, tetapi juga pada intuisi anak dan keluarga atau orang
tua seharusnya dapat memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang
kehidupan, sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat
bagi anak untuk berpikir.
Ø Saran untuk pendidik
atau calon guru: Dalam mengembangkan kemampuan berpikir pendidik harus
bisa mempersepsi dan belajar mengkoordinasi tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh anak didik dan pendidik harus mengetahui isi dan cirri-ciri dari setiap
tahap perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan
tindakan edukatif yang tepat dan dapat menghasilkan peserta didik yang
benar-benar pengalaman belajar yang diterimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar